Menguak misteri excalibur, pedang legendaris dari mitos Raja Arthur

Sudah pernah mendengar tentang excalibur? Kamu yang akrab dengan legenda King Arthur dari Inggris pasti sudah tak asing lagi dengan pedang ini. Dalam legenda dikisahkan kalau siapapun yang mampu mencabut pedang excalibur yang tertancap pada batu kelak akan menjadi Raja Inggris. Dan ternyata Arthur yang mampu mencabut pedang legendaris tersebut.

Walaupun legenda Arthur merupakan cerita rakyat belaka, ternyata pedang excalibur benar-benar ada. Hanya saja pedang tersebut tidak ditemukan di Inggris, melainkan di Italia. Di dalam sebuah kapel di Monte Siepi, Italia ada sebuah pedang kuno yang tertanam di dalam batu. Pedang itu diyakini sebagai senjata milik San Galgano, seorang kesatria dari Tuscany yang hidup pada abad 13.

Galgano yang bernama asli Galgano Guidotti tadinya adalah kesatria bengis yang sudah membunuh begitu banyak nyawa. Dia menghabisi nyawa musuh-musuhnya dengan pedang tersebut. Suatu ketika ia didatangi Malaikat Michael dan diminta untuk meninggalkan cara hidupnya yang penuh dosa. Galgano menegaskan bahwa melakukan hal itu sama sulitnya dengan menancapkan pedang ke batu.

Kemudian untuk membuktikan perkataannya itu Galgano mencoba menancapkan pedangnya ke sebuah batu di dekatnya. Tak disangka pedang tersebut tertancap di dalam batu begitu mudahnya. Kemudian Galgano pun memutuskan untuk bertobat dan meninggalkan pedangnya yang masih tertancap di dalam batu hingga sekarang.

Pedang dan batu itu sampai sekarang masih tersimpan di San Galgano Abbey, Monte Siepi, Italia. Kemungkinan besar kisah pedang ini sampai ke Inggris dan menjadi asal-usul legenda Arthur. Selama ini banyak yang menduga kalau pedang excalibur di San Galgano Abbey palsu. Tetapi penelitian pada tahun 2001 membuktikan kalau pedang ini berasal dari periode yang sama dengan kisah hidup San Galgano.

"Melakukan penanggalan pada logam adalah tugas yang sangat sulit, tapi kami dapat mengatakan kalau komposisi logam dan modelnya cocok dengan era legenda tersebut berasal," kata Luigi Garlaschelli, salah satu peneliti dari University of Pavia seperti dilansir The Guardian.

sumber: merdeka.com

Subscribe to receive free email updates: